KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU
Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Dan untuk melaksanakan konsekuensi-konsekuensi dari pengakuan bahwa kita sudah berIslam, itu membutuhkan ilmu.
Menuntut Ilmu Itu Wajib
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)
Menuntut ilmu itu wajib bagi Muslim maupun Muslimah. Ketika sudah turun perintah Allah yang mewajibkan suatu hal, sebagai muslim yang harus kita lakukan adalah sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taat. Sesuai dengan firman Allah Ta ‘ala:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman apabila diajak untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul itu memberikan keputusan hukum di antara mereka hanyalah dengan mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat”. Dan hanya merekalah orang-orang yang berbahagia.” (QS. An-Nuur [24]: 51).
Sebagaimana kita meluangkan waktu kita untuk shalat. Ketika waktu sudah menunjukkan waktu shalat pasti kita akan meluangkan waktu untuk shalat walaupun misal kita sedang bekerja dan pekerjaan kita masih banyak. Kita akan tetap meninggalkan aktivitas kita dan segera mengerjakan shalat. Maka begitupun sebaiknya yang harus kita lakukan dengan menuntut ilmu.
Ilmu Itu Apa?
Ilmu adalah kunci segala kebaikan. Ilmu merupakan sarana untuk menunaikan apa yang Allah wajibkan pada kita. Tak sempurna keimanan dan tak sempurna pula amal kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu Allah disembah, dengannya hak Allah ditunaikan, dan dengan ilmu pula agama-Nya disebarkan.
Kebutuhan pada ilmu lebih besar dibandingkan kebutuhan pada makanan dan minuman, sebab kelestarian urusan agama dan dunia bergantung pada ilmu. Imam Ahmad mengatakan, “Manusia lebih memerlukan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dua atau tiga kali sehari, sedangkan ilmu diperlukan di setiap waktu.”
Jika kita ingin menyandang kehormatan luhur, kemuliaan yang tak terkikis oleh perjalanan malam dan siang, tak lekang oleh pergantian masa dan tahun, kewibawaan tanpa kekuasaan, kekayaan tanpa harta, kedigdayaan tanpa senjata, kebangsawanan tanpa keluarga besar, para pendukung tanpa upah, pasukan tanpa gaji, maka kita mesti berilmu.
Namun, yang dimaksud dengan kata ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan” (Fathul Baari, 1/92).
Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di atas, jelaslah bawa ketika hanya disebutkan kata “ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan sebagian orang yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu dari Al Qur’an dan As-Sunnah, tetapi yang mereka maksud adalah untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan apabila digunakan dalam keburukan, maka buruk. (Lihat Kitaabul ‘Ilmi, hal. 14).
Keutamaan-Keutamaan Ilmu Dan Pemilik Ilmu
1. Ilmu Menyebabkan Dimudahkannya Jalan Menuju Surga
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
2. Ilmu Adalah Warisan Para Nabi
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh hadits,
اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَامًا، وَلَكِنْ وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Maka dari itu, barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang cukup.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6297).
3. Ilmu Akan Kekal Dan Akan Bermanfaat Bagi Pemiliknya Walaupun Dia Telah Meninggal
Disebutkan dalam hadits,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang berdoa untuknya” (HR. Muslim).
4. Allah Tidak Memerintahkan Nabi-Nya Meminta Tambahan Apa Pun Selain Ilmu
Allah berfirman:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu“. (QS. Thaaha [20] : 114). Ini dalil tegas diwajibkannya menuntut ilmu.
5. Orang Yang Dipahamkan Agama Adalah Orang Yang Dikehendaki Kebaikan
Dari Mu’awiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim No. 1037).
Yang dimaksud faqih dalam hadits bukanlah hanya mengetahui hukum syar’i, tetapi lebih dari itu. Dikatakan faqih jika seseorang memahami tauhid dan pokok Islam, serta yang berkaitan dengan syari’at Allah. Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Kitabul ‘Ilmi (hal. 21).
6. Yang Paling Takut Pada Allah Adalah Orang Yang Berilmu
Hal ini bisa direnungkan dalam ayat,
إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 308).
Para ulama berkata,
من كان بالله اعرف كان لله اخوف
“Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada Allah”.
7. Orang Yang Berilmu Akan Allah Angkat Derajatnya
Allah Ta’ala berfirman:
…يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ..
“…Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).
Allah Subhanahu wa Ta ‘ala berfirman,
وَقَالُوا۟ لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِىٓ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ
“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (QS. Al-Mulk : 10).
Allah telah memberikan banyak kenikmatan, jika tidak kita gunakan untuk mempelajari firman-firmannya maka kita akan menjadi salah satu orang yang menyatakan dan Allah abadikan dalam surat Al-Mulk ayat 10 di atas.
Semoga Allah memberikah taufiq dan hidayah-Nya kepada kita untuk bisa menuntut ilmu dan mengamalkannya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aamiin.
BERSEGERA DAN BERLOMBA DALAM KEBAIKAN
Jika kita melihat sebagian orang begitu menggebu mengejar cita-cita dunia, maka seharusnya seorang muslim jauh lebih bersemangat dalam mengerjakan kebaikan (fastabiqul khairat). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ
“Bersemangatlah dalam menggapai hal yang bermanfaat untukmu.” (HR. Muslim no. 2664)
Indikasi ia bersemangat adalah tidak menunda-nunda dalam melakukan kebaikan. Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka, berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 148)
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,
والأمر بالاستباق إلى الخيرات قدر زائد على الأمر بفعل الخيرات، فإن الاستباق إليها, يتضمن فعلها, وتكميلها, وإيقاعها على أكمل الأحوال, والمبادرة إليها، ومن سبق في الدنيا إلى الخيرات, فهو السابق في الآخرة إلى الجنات, فالسابقون أعلى الخلق درجة،
“Perintah berlomba dalam kebaikan berada di atas level melakukan kebaikan. Karena berlomba dalam kebaikan mencakup mengerjakan, menyempurnakan, berusaha mengerjakannya (kebaikan) sebaik mungkin, dan bersegera terhadap sebuah kebaikan. Barangsiapa yang ketika di dunia ia gemar berlomba dalam kebaikan, maka kelak di akhirat ia akan mendapat kesempatan menjadi golongan yang lebih dahulu ke surga dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 72)
Dalam ayat yang lain, Allah ‘azza wajalla menyifati orang-orang mukmin sebagai orang yang bersegera dan berlomba dalam kebaikan,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun: 60-61)
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu mengatakan,
في ميدان التسارع في أفعال الخير، همهم ما يقربهم إلى الله، وإرادتهم مصروفة فيما ينجي من عذابه، فكل خير سمعوا به، أو سنحت لهم الفرصة إليه، انتهزوه وبادروه، قد نظروا إلى أولياء الله وأصفيائه، أمامهم، ويمنة، ويسرة، يسارعون في كل خير، وينافسون في الزلفى عند ربهم، فنافسوهم. ولما كان السابق لغيره المسارع قد يسبق لجده وتشميره، وقد لا يسبق لتقصيره
“Dalam hal bersegera mengerjakan kebaikan, obsesi mereka adalah setiap perbuatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Harapan mereka hanya ingin bebas dari siksa neraka. Setiap kebaikan yang mereka dengar atau ada kesempatan melakukannya, maka mereka akan segera bertindak saat itu juga. Mereka melihat orang-orang terpilih Allah telah jauh melampaui mereka, dari sisi kanan dan kiri mereka. Maka, mereka bersegera mengerjakan kebajikan dan berusaha sedekat mungkin dengan Rabb mereka. Mereka begitu kekeuh.”
Dan semangat seorang muslim dalam mengerjakan kebaikan (fastabiqul khairat), tidak hanya berlaku di sebagian hal dan meninggalkan sebagian yang lain. Syekh As-Sa’diy rahimahullah mengatakan bahwa semangat tersebut harus dimiliki di setiap ibadah wajib maupun sunah,
والخيرات تشمل جميع الفرائض والنوافل, من صلاة, وصيام, وزكوات وحج, عمرة, وجهاد, ونفع متعد وقاصر. ولما كان أقوى ما يحث النفوس على المسارعة إلى الخير, وينشطها, ما رتب الله عليها من الثواب
“Dan kebaikan yang dimaksud mencakup ibadah wajib dan sunah. Berupa salat, puasa, zakat, haji, umrah, jihad, dan amalan jangka panjang maupun jangka pendek. Semakin kuat dorongan hati seseorang dalam bersegera dan giat dalam mengerjakan kebaikan, sebesar itu pula pahala yang Allah limpahkan kepada hamba tadi.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 72)
Semangat mengerjakan kebaikan ini hendaknya tidak boleh padam di tengah jalan dengan menunda-nundanya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا وَيُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ أَحَدُهُمْ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah mengerjakan kebaikan sebelum datangnya fitnah yang seperti gelapnya malam. Sehingga ada di antara orang-orang yang paginya beriman, sore harinya telah kufur. Atau sebaliknya, di sore hari ia beriman, kemudian kufur di esok paginya. Mereka menukar agama mereka dengan perbendaharaan dunia.” (HR. Ahmad no. 8017 dan Muslim no. 118)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah mengatakan,
إياك والتسويف، فإنك بيومك ولست بغدك، فإن يكن غد لك فكس في غد كما كست في اليوم، وإن لم يكن لك غد لم تندم على ما فرطت في اليوم
“Jauhilah berkata “nanti, nanti”. Karena kamu adalah apa yang ada hari ini dan bukan esok hari. Jika esok kamu masih ada, berpikiranlah sebagaimana sebelumnya (menjadikan esok sebagai hari ini -pent). Kalaupun seandainya esok bukan jatahmu lagi, maka tiada penyesalan atas apa yang kau tunda-tunda di hari ini.” (Iqtidha Al-Ilmi Al-Amal, hal. 114)
Semoga Allah karuniakan taufik kepada hati kita untuk tidak menunda-nunda amalan kebaikan dan tetap bersemangat dalam fastabiqul khairat. Aamiin
TANDA-TANDA HARI KIAMAT/
HARI KEHANCURAN DUNIA
Hilangnya Ilmu dan Menyebarnya Kebodohan
Di antara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ.
“Di antara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.” (HR. Bukhari & Muslim)
Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْم
“Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan”. (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ
“Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.” (HR. Muslim)
Ibnu Baththal berkata, “Semua yang terkandung dalam hadits ini termasuk tanda-tanda Kiamat yang telah kita saksikan secara jelas, ilmu telah berkurang, kebodohan nampak, kebakhilan dilemparkan ke dalam hati, fitnah tersebar dan banyak pembunuhan.” (Fat-hul Baari (XIII/16).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari ungkapan itu dengan perkataannya, “Yang jelas, sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak disertai adanya (tanda Kiamat) yang akan datang menyusulnya. Sementara yang dimaksud dalam hadits adalah kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi keadaan yang sebaliknya kecuali sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan “dicabut ilmu”, maka tidak ada yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang murni. Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena mereka saat itu adalah orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.” (Fat-hul Baari (XIII/16).
Dicabutnya ilmu terjadi dengan diwafatkannya para ulama. Dijelaskan dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّـى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
‘Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan men-jadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain”. (HR. Bukhari & Muslim)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mencabut ilmu dalam hadits-hadits terdahulu yang mutlak bukan menghapusnya dari hati para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah pembawanya meninggal, dan manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemutus hukum yang memberikan hukuman dengan kebodohan mereka, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” ( Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVI/223-224).
Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu al-Qur-an dan as-Sunnah, ia adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi alaihimussalam, karena sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan dengan kepergian (wafat)nya mereka, maka hilanglah ilmu, matilah Sunnah-Sunnah Nabi, muncullah berbagai macam bid’ah dan meratalah kebodohan.
Adapun ilmu dunia, maka ia terus bertambah, ia bukanlah makna yang dimaksud dalam berbagai hadits. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.”
Kesesatan hanya terjadi ketika bodoh terhadap ilmu agama. Para ulama yang sebenarnya adalah mereka yang mengamalkan ilmu mereka, memberikan arahan kepada umat, dan menunjuki mereka jalan kebenaran dan petunjuk, karena sesungguhnya ilmu tanpa amal adalah sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan akan menjadi musibah bagi pemiliknya. Dijelaskan pula dalam riwayat al-Bukhari:
وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ
“Dan berkurangnya pengamalan.” (HR. Bukhari)
Imam adz-Dzahabi rahimahullah ulama besar ahli tarikh (sejarah) Islam berkata setelah memaparkan sebagian pendapat ulama, “Dan mereka tidak diberikan ilmu kecuali hanya sedikit saja. Adapun sekarang, maka tidak tersisa dari ilmu yang sedikit itu kecuali sedikit saja pada sedikit manusia, sungguh sedikit dari mereka yang mengamalkan ilmu yang sedikit tersebut, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita.” (Tadzkiratul Huffaazh (III/1031)
Jika hal ini terjadi pada masa Imam adz-Dzahabi, maka bagaimana pula dengan zaman kita sekarang ini? Karena setiap kali zaman itu jauh dari masa kenabian, maka ilmu pun akan semakin sedikit dan banyak kebodohan. Sesungguhnya para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang yang paling tahu dari umat ini, kemudian para Tabi’in, lalu orang yang mengikuti mereka, dan merekalah sebaik-baik generasi, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” HR. Muslim)
Ilmu senantiasa terus berkurang, sementara kebodohan semakin banyak, sehingga banyak orang yang tidak mengenal kewajiban-kewajiban dalam Islam. Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلاَ صَلاَةٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ وَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فِـي لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِي اْلأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ: الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ؛ يَقُولُونَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا: فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ، وَلاَ صِيَامٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّدَهَا عَلَيْهِ ثَلاَثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: يَا صِلَةُ! تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ، ثَلاَثًا
“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya hiasan pada pakaian sehingga tidak diketahui lagi apa itu puasa, tidak juga shalat, tidak juga haji, tidak juga shadaqah. Kitabullah akan diangkat pada malam hari hingga tidak tersisa di bumi satu ayat pun, yang tersisa hanyalah beberapa kelompok manusia: Kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami (mengucapkan) kalimat ini, mereka mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah’, maka kami pun mengucapkannya. Lalu Shilah³ berkata kepadanya, “(Kalimat) Laa Ilaaha Illallaah tidak berguna bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, tidak juga puasa, tidak juga haji, dan tidak juga shadaqah. Lalu Hudzaifah berpaling darinya, kemudian beliau mengulang-ulangnya selama tiga kali. Setiap kali ditanyakan hal itu, Hudzaifah berpaling darinya, lalu pada ketiga kalinya Hudzaifah menghadap dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itu menyelamatkan mereka dari Neraka (sebanyak tiga kali).” (HR. Ibnu Majah)
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
لَيُنْزَعَنَّ الْقُرْآنُ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِكُمْ، يُسْرَى عَلَيْهِ لَيْلاً، فَيَذْهَبُ مِنْ أَجْوَافِ الرِّجَالِ، فَلاَ يَبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ
“Sungguh, al-Qur-an akan dicabut dari pundak-pundak kalian, dia akan diangkat pada malam hari, sehingga ia pergi dari kerongkongan orang-orang. Maka tidak ada yang tersisa darinya di bumi sedikit pun.” (HR. Ath Thabrani)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Di akhir zaman (al-Qur-an) dihilangkan dari mushhaf dan dada-dada (ingatan manusia), maka tidak ada yang tersisa satu kata pun di dada-dada manusia, demikian pula tidak ada yang tersisa satu huruf pun dalam mushhaf.” (Majmuu’ al-Fataawaa (III/198-199).
Lebih dahsyat lagi dari hal ini adalah Nama Allah tidak disebut lagi di atas bumi. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي اْلأَرْضِ: اللهُ، اللهُ
“Tidak akan datang hari Kiamat hingga di bumi tidak lagi disebut: Allah, Allah.” (HR. Muslim)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ada dua pendapat tentang makna hadits ini:
Pendapat pertama, bahwa seseorang tidak mengingkari kemunkaran dan tidak melarang orang yang melakukan kemunkaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkannya dengan ungkapan “tidak lagi disebut: Allah, Allah” sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma:
فَيَبْقَى فِيهَا عَجَاجَةٌ لاَ يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا
‘Maka yang tersisa di dalamnya (bumi) hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran.” (HR. Ahmad)
Pendapat kedua, sehingga tidak lagi disebut dan dikenal Nama Allah di muka bumi. Hal itu terjadi ketika zaman telah rusak, rasa kemanusiaan telah hancur, dan banyaknya kekufuran, kefasikan juga kemaksiatan.” (An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/186) tahqiq Dr. Thaha Zaini).
waallahu ‘lamuu bish showab
AL QUR’AN PEDOMAN HIDUP YANG LURUS DAN ADIL SEPANJANG ZAMAN
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum Muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus mereka Imani dan aplikasikan dalam kehidupan agar memperoleh kebaikan serta kesejahteraan di dunia maupun akhirat.
Wahai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami menjelaskan kepadamu banyak dari isi kitab yang kamu sembunyikan. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang nyata. Dengan kitab itulah, Allah membimbing orang-orang yang mengikuti keridhan-Nya ke jalan-jalan keselamatan dan mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izin-Nya dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. (Al-Maidah [5]: 15-16)
Al-Qur’an merupakan pedoman bagi seluruh umat manusia, disamping sebagai pedoman bagi orang-orang beriman. Semua manusia, baik yang beriman maupun yang tidak beriman, memiliki potensi untuk meraih petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Namun dengan keimanan yang dimiliki oleh seorang muslim, tentunya mereka memiliki potensi yang lebih besar untuk meraih petunjuk Al-Qur’an dibandingkan dengan orang-orang yang tidak beriman.
Dan apabila kamu tidak membawa sebuah ayat Al-Qur’an kepada mereka, mereka berkata, “Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?” Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan dari Tuhan kepadaku. Al-Qur’an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat untuk orang-orang beriman. ” (Al-A’raf [7]: 203)
Sebagai pedoman hidup manusia, isi kandungan Al-Qur’an tidak terlepas dari hal-hal yang berhubungan dengan manusia dan realitas kehidupannya. Dimana kandungannya dapat diklasifikan menjadi empat macam.
Pertama, akidah atau tauhid yang merupakan pembeda antara iman dan kafir. Aqidah ini berkenaan dengan iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari akhirat.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia baik yang muslim maupun kafir, dan dengan alam lingkungannya.
Ketiga, moral atau akhlak mulia, yang dapat memperbaiki kondisi perangai pribadi dan masyarakat serta mendidik mereka menjadi manusia-manusia yang memiliki pribadi yang baik.
Keempat, janji yang baik berupa keselamatan di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang melaksanakan perintah-Nya serta mejauhi segala larangan-Nya dan ancaman berupa siksa bagi orang-orang yang ingkar dan kafir kepada Allah Ta’ala.
Al-Qur’an adalah kitab suci untuk seluruh umat manusia, petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya bersifat universal, lengkap, mampu menghadapi tantangan zaman, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di sepanjang zaman. Sifatnya yang universal merupakan salah satu karakter Al-Qur’an yang sangat istimewa jika dibandingkan dengan kitab suci yang turun sebelumnya.
Dan ingatlah hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang berserah diri. (An-Nahl [16]: 89)
Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan. (Al-An’am [6]: 38)
Menurut sebagian ahli tafsir, Al-Kitab dalam firman Allah ta’ala tersebut adalah Al-Qur’an, yaitu kitab Ilahi yang merupakan mukjizat terbesar bagi Rasulullah SaW, sebagai pembenar atas risalah yang dibawa olehnya, penyempurna kitab-kitab sebelumnya, serta petunjuk hidup bagi umat manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kata Al-Kitab dengan berbagai kata turunannya di dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 261 kali yang tersebar dalam berbagai surat dan ayat.
Al-Qur’an adalah kitab universal, pedoman hidup yang memuat segala sesuatu yang dibutuhkan manusia sepanjang zaman. Tidak ada satupun dari apa saja yang penting yang tidak Allah jelaskan di dalam Al-Qur’an secara global. Di dalam Al-Qur’an terdapat prinsip-prinsip kemasyarakatan dan kemanusiaan yang universal, dan di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang menjadikan Al-Qur’an selalu sesuai untuk segala zaman dan tempat.
Dan kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu sekalian kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan. (Al-Maidah [5]: 48)
Sebagai pedoman Al-Qur’an berisi firman-firman tebaik yang penuh dengan bimbingan hidayah dan sinar hikmah. Al-Qur’an memberikan keterangan-keterangan tentang batas-batas yang ditentukan Allah azza wajalla, kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, keterangan mana yang halal dan haram, sehingga manusia memiliki pedoman dan arahan yang jelas dalam melaksanakan tugas hidupnya sebagai makhluk Allah Ta’ala di dunia.
Al-Qur’an Mengandung ajaran universal, menyentuh segala aspek duniawi maupun ukhrawi. Keuniversalan ini tidak mungkin dipungkiri oleh siapa pun manakala jujur dalam mengkaji dan mempelajarinya secara obyektif.
Edward Gibbon seorang orientalis dari Inggris mengatakan:
“Al-Qur’an itu adalah sebuah kitab agama, kitab kemajuan, kenegaraan, perdagangan, persaudaraan, kemahkamahan, dan undang-undang ketentaraan dalam agama Islam. Al-Qur’an mengandung isi yang lengkap, mulai dari urusan ibadah, ketauhidan sampai kepada hal yang berkenaan dengan jasmani, mulai pembicaraan hak-hak dan kewajiban segolongan umat sampai kepada akhlak dan perangai, dan hukuman di dunia ini. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan segala pembalasan amal. Karena itu, besar sekali perbedaan antara Al-Qur’an dengan Bibel. Bibel tidak memuat aturan-aturan yang bertalian dengan keduniaan. Yang terdapat di dalamnya hanyalah cerita-cerita untuk kesucian diri. Bibel tidak dapat mendekati Al-Qur’an, karena Al-Qur’an itu tidak hanya menerangkan hal-hal yang bertalian dengan amalan keagamaan, tetapi juga mengupas asas-asas politik kenegaraan. Al-Qur’anlah yang menjadi sumber peraturan negara (bagi umat Islam), sumber undang-undang dasar, memutuskan suatu perkara, baik yang berhubungan dengan kehartaan maupun kejiwaan.”
Demikian juga J.W. Goethe seorang orientalis Jerman pernah mengatakan:
“Bagaimanapun juga saya membaca Al-Qur’an, tidak habis-habisnya saya bertemu dengan ajaran-ajaran yang menggerakkan saya untuk memperdalam pengetahuan agama. Susunan kalimatnya sangat indah, isi dan tujuannya dapat menjadi pedoman untuk jalan kebahagiaan, kemuliaan yang tinggi, dan beberapa pelajaran yang menakutkan untuk pekerjaan jahat. Demikian pendapat saya, bahawa Al-Qur’an ini akan berjalan terus melalui setiap zaman dan sangat berpengaruh.”
Harry Gaylord Dorman dalam bukunya Toward Understanding Islam mengatakan:
“Kitab Al-Qur’an benar-benar firman Tuhan yang disampaikan melalui Jibril kepada Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wasallam), dengan kesempurnaan setiap hurufnya. Ia merupakan suatu mukjizat yang tetap aktual hingga saat ini. Mutu keajaibannya terletak pada gayanya yang begitu sempurna dan agung sehingga tak mungkin ada manusia dan jin yang dapat mengarang satu suratpun, walau yang pendek. Sebagian keajaibannya terletak pada ajarannya yang membuka tentang masa depan dan keterangan-keterangannya sangat tepat.”
Demikianlah Al-Qur’an. Kitab suci sepanjang masa dimana ayat-ayatnya sesuai dan selaras dengan dinamika zaman. Bimbingannya mencakup semua dimensi kehidupan manusia yang hidup di masa lampau maupun masa kini. Sebab Al-Qur’an tidaklah mewakili pikiran personal ataupun kelompok tertentu melainkan mewakili manusia sepanjang masa untuk membimbing mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sunnguh, Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang palin lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar. (Al-Isra’ [17]: 9). Wallahu A’lam.
KEDUDUKAN AL HADIS / AS SUNAH DALAM ISLAM
Tatkala membahas al Quran, kita mengemukakan bahwa kitab Allah ini bukan sekedar shuhuf/lembaran petunjuk untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang muncul pada masa turunnya, dan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para pengikut beliau.
Al Quran merupakan sebuah uraian lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui manusia, dan dihimpun dalam sebuah sistem. Meskipun Al Quran menegaskan mengenai dirinya sebagai Kitab yang menerangkan segala sesuatu, tetapi tidak semua masalah disampaikannya secara tuntas, sejak dari prinsip dasar sampai dengan operasionalisasinya.
Sepertinya Allah menetapkan untuk memfungsikan Rasul bukan sekedar membacakan kitab-Nya kepada ummat manusia, tetapi juga menerangkan isinya dan memberi contoh pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari. Islam adalah sistem nilai dan ajaran illahiyah yang bersifat transendental dan universal. Sebagai suatu sistem universal,
Islam akan selalu hadir dinamis dan menyegarkan serta akan selalu mampu menjawab berbagai tantangan zaman. Hal ini didasarkan pada sumber ajaran Islam yang kokoh yaitu al Quran, Hadits, Ijma dan Ijtihad Ulama/Qiyas.
Al Quran adalah firman Allah ta’ala yang di dalamnya terkandung ajaran pokok untuk keperluan seluruh aspek kehidupan. Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Muhammad SAW yang berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup umat manusia.
Kedudukan Hadits Dalam Islam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah ta;ala).
Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau al Quran merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada ummat dengan cara beliau dengan bimbingan Allah ta’ala.
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.”.(QS. An-Nahl 44)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (QS. Al Hasyr:7)
Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/hadits merupakan penjelasan Al Quran. Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam.
Dengan demikian, sunnah adalah menjelaskan al Quran, membatasi kemutlakannya dan mentakwilkan kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat dikategorikan beriman kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh Rasulullah SAW dan dengan putusannya itu mereka merasa senang.
Imam asy-Syathibi menerangkan dalam karyanya al-Muwafaqat bahwa sunnah dibawah derajat al-Quran dengan alasan :
1). As-Sunnah menjadi bayan (keterangan) al Quran.
2). As-Sunnah menerangkan hukum-hukum yang terdapat dalam al Quran, bukan al Quran menerangkan hukum sunnah.
3). As-Sunnah menguatkan kemutlakan al Quran, mengkhususkan keumuman al Quran dan mengihtimalkan/menerangkan lahirnya al Quran.
4) Dalam hal mengishtinbatkan hukum, maka sunnah mempunyai batas-batas :
-
Sunnah mensyari’atkan apa-apa yang disyari’atkan oleh Allah ta’ala agar diikuti dan dilaksanakan.
-
Sunnah Nabi menerangkan apa-apa yang disyari’atkan oleh al Quran dalam hal menjelaskan ayat-ayat yang umum, menjelaskan ayat-ayat yang muhtamil (mengandung beberapa kemungkinan hukum) dan membatasi ayat-ayat yang mutlak (tanpa batas).
-
Sunnah berwenang membuat berbagai macam hukum baru yang tidak terdapat dalam Al Quran. Untuk hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpedoman kepada ilham dan petunjuk dari Allah dan ada pula yang berdasarkan ijtihad Rasulullah sendiri (dengan izin Allah).
Imam Syafi’i menguraikan kedudukan sunnah terhadap Al Quran sebagai berikut:
-
Sunnah itu bayan al-tafshil (penjelasan secara rinci), keterangan yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal. 2. Sunnah itu bayan al-takhsis yaitu keterangan yang mentakhsiskan (mengkhususkan) segala keumuman Al Quran. 3. Sunnah itu bayan al-ta’yin yaitu keterangan yang menentukan mana yang dimaksud dari dua kata atau tiga macam persoalan yang semuanya mungkin untuk dijelaskan secara terang. 4. Sunnah itu bayan al-ta’kid yaitu keterangan sunnah yang bersesuaian benar dengan petunjuk Al Quran dari segala jurusan dan ia menguatkan apa yang dipaparkan ayat-ayat Al Quran. 5. Sunnah itu bayan al-tafsir yaitu keterangan sesuatu hukum dari Al Quran, yang menerangkan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang tersebut dalam Al Quran. 6. Sunnah itu bayan al-tasyri` yaitu keterangan sesuatu hukum yang tidak diterangkan dalam Al Quran. 5 Dalam menyampaikan al Quran, Rasulullah SAW hanya meneruskan apa yang diwahyukan kepada beliau, tanpa hak untuk menambah, mengurangi atau mengubah satu patah katapun. Sedangkan dalam mendakwahkan petunjuk selain beliau menyampaikannya dengan ucapan, dalam hal itu kata-kata dan susunannya berasal dari Muhammad SAW sendiri. Hadits Qudsi, walaupun dimulai dengan pernyataan: “Allah berfirman”, kalimatnya tetap dari Rasul. Beliau hanya menerangkan firman Allah yang beliau terima sebagai ilham. Pada waktu lain beliau mengemukakan petunjuk Allah itu dengan perbuatan, termasuk dengan berdiam diri ketika melihat perbuatan seseorang. Berdiam diri itu merupakan taqrir atau ijin bagi yang hendak melakukan perbuatan tersebut. Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meskipun menjadi Nabi yang menerima wahyu, sekaligus seorang Rasul, utusan yang bertugas menyampaikan wahyu dan petunjuk lain yang diilhamkan kepada beliau, tetap manusia biasa yang mempunyai keinginan, pikiran dan pendapat. Maka dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menunaikan tugasnya, beliau juga berijtihad dengan menggunakan akalnya (dengan izizn Allah). Ketika menyampaikan ijtihadnya Muhammad dapat dibantah, bahkan bersedia mengubah ketetapannya bila ternyata ada ijtihad lain yang lebih baik. Tetapi tatkala melaksanakan petunjuk Allah, tidak ada siapapun yang boleh turut campur apa lagi mengoreksinya.
-
Para ulama menerangkan beberapa fungsi Al Hadits terhadap Al Quran : 1. merinci atau mengoperasionalkan petunjuk yang Al Quran hanya membicarakan pokoknya saja. 2. menegaskan suatu ketetapan yang telah dinyatakan di dalam Al Quran. 3. menerangkan tujuan hukum dari suatu ketetapan Al Quran. Berbeda dengan Al Quran, sebagian besar Al Hadits tidak ditulis pada waktu Rasulullah SAW masih hidup kerena disebabkan beberapa faktor : 1. Karena Rasul sendiri pernah melarangnya.
Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid Al Azdi telah menceritakan kepada kami Hammam dari Zaid bin Aslam dari Atho` bin Yasar dari Abu Sa’id Al Khudri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain al-Qur’an hendaklah dihapus, dan ceritakanlah dariku dan tidak ada dosa. Barangsiapa berdusta atas (nama) ku – Hammam berkata: Aku kira ia (Zaid) berkata: dengan sengaja, maka hendaklah menyiapkan tempatnya dari neraka.” (HR. Muslim, no:5326)
Para ulama hadits menganggap larangan ini disebabkan oleh kekuatiran, bahwa catatan al Hadits akan bercampur dengan al Quran, karena waktu itu belum ada media tulis yang baik. Buktinya, Rasul sendiri di kemudian hari mengijinkan beberapa sahabat yang terpercaya, menulis keterangan-keterangan beliau. Jarang sekali Rasulullah menerangkan, apakah ucapan dan perbuatan beliau itu atas petunjuk Allah atau hanya ijitihad beliau sendiri.
Pada waktu itu ummat sibuk berperang dan berdakwah. Maka potensi penulis yang tersedia, dimanfaatkan dengan prioritas menulis al Quran, yang Rasul memang memerintahkannya.
Rasulullah SAW pada masa itu masih berada di tengah ummat, sehingga bila ada yang memerlukan keterangan atau penjelasan tentang pernyataan al Quran, dia dapat bertanya langsung kepada beliau. Kenyataan bahwa tulisan mengenai al Hadits sangat langka, menimbulkan kesulitan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat. Apalagi tatkala sahabat-sahabat yang dekat dengan beliau dan yang menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau, telah wafat pula. Padahal umat memerlukan pengetahuan tentang Sunnah. Rasulullah di dalam menyelesaikan berbagai masalah, yang petunjuk operasionalnya tidak ditemui dalam al Quran.
maka terjadilah pembukuan As Sunah/Hadis yang dilakukan oleh para Ulama Ahli Hadis untuk mengetahui maksud dan tujuan ayat-ayat Al Qur’an dengan mempelajari As Sunah/Hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
KISAH ULAMA SALAF AHLI HADIS DALAM PERJALANAN HAJI KE BAITULLAH
Perjalanan Syeikh Abdullah bin Mubarak ke tanah suci Makkah terhenti ketika ia sedang singgah di kota Kufah, Irak. Dalam kitab An-Nawadir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah Al Qulyubi, dikisahkan, Abdullah bin Mubarak melihat seorang perempuan sedang mencabuti bulu itik dan ia sempat bertanya tentang kondisi hewan sembelihannya tersebut.
“Ini bangkai atau hasil sembelihan yang halal?” tanya Abdullah memastikan.
“Bangkai, dan aku akan memakannya bersama keluargaku,” ujar perempuan tersebut
Ulama ahli fiqih dan hadis kelahiran Marwa 118 H ini heran, di negeri Kufah bangkai ternyata menjadi santapan keluarga. Ia pun mengingatkan perempuan tersebut bahwa tindakannya adalah haram. Si perempuan menjawab dengan pengusiran.
Abdullah pun pergi tapi selalu datang lagi dengan nasihat serupa. Berkali-kali. Hingga suatu hari perempuan itu menjelaskan perihal keadaannya. “Aku memiliki beberapa anak. Selama tiga hari ini aku tak mendapatkan makanan untuk menghidupi mereka.”
Hati Abdullah bergetar. Segera ia pergi dan kembali lagi bersama keledainya dengan membawa makanan, pakaian, dan sejumlah bekal.
“Ambilah keledai ini berikut barang-barang bawaannya. Semua untukmu.”
Tak terasa, musim haji berlalu dan Abdullah bin Mubarak masih berada di Kufah. Artinya, ia gagal menunaikan ibadah haji tahun itu. Dia pun memutuskan bermukim sementara di sana sampai para jamaah haji pulang ke negeri asal dan ikut bersama rombongan.
Begitu tiba di kampung halaman, Abdullah disambut antusias masyarakat. Mereka beramai-ramai memberi ucapan selamat atas ibadah hajinya. Abdullah malu. Keadaan tak seperti yang disangkakan orang-orang.
“Sungguh aku tidak menunaikan haji tahun ini,” katanya meyakinkan para penyambutnya.
Sementara itu, kawan-kawannya yang berhaji menyuguhkan cerita lain. “Subhanallah, bukankah kami menitipkan bekal kepadamu saat kami pergi kemudian mengambilnya lagi saat kau di Arafah?” Yang lain ikut menanggapi, “Bukankah kau yang memberi minum kami di suatu tempat sana?”
“Bukankah kau yang membelikan sejumlah barang untukku,” kata satunya lagi.
Abdullah bin Mubarak semakin bingung. “Aku tak paham dengan apa yang kalian katakan. Aku tak melaksanakan haji tahun ini.”
Hingga malam harinya, dalam mimpi Abdullah mendengar suara, “Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji, dan tentu saja pahalanya dilimpahkan kepadamu”
Syeikh Abdullah bin Mubarak meninggal di kediamnnya di daerah Hait, pada bulan Ramadan tahun 181 H selepas berperang melawan Romawi.
(Kisah ini disebutkan dalam kitab Al Bidayah Wan Nihayah karya Imam Ibnu Katsir juga akan tetapi tanpa menyebutkan sanadnya)
WASPADA TERHADAP BISNIS SYARIAH
BELAKANGAN INI BANYAK BISNIS YANG MENGGUNAKAN KATA SYARIAH…BANK SYARIAH..KOPRASI SYARIAH…PROPERTI SYARIAH DLL..HATI-HATI JANGAN TERJEBAK DENGAN BISNIS-BISNIS YANG MENGGUNAKAN LEBEL SYARIAH..KARENA INGIN MELAKUKAN BISNIS YANG SESUAI SYARIAH…
KATA SYARIAH ADALAH KATA YANG BERASAL DARI AGAMA ISLAM YANG ARTINYA KETETAPAN DAN KETENTUAN SESUAI ATURAN ISLAM…
NAMUN HENDAKNYA UMAT ISLAM HATI-HATI TERHADAP GERAKAN, AKTIFITAS DAN BERBAGAI KEGIATAN BISNIS ATAU SELAINNYA YANG MENGGUNAKAN LEBEL SYARIAH..
KETIKA MENDENGAR BISNIS DENGAN MENGGUNAKAN KATA SYARIAH HENDAKNYA WASPADA JANGAN PERCAYA 100 % BAHWA BISNIS ITU MENGGUNAKAN ATURAN SYARIAH.
BERAPA BANYAK KEGIATAN DAN BISNIS DENGAN MENGGUNAKAN KATA SYARIAH NAMUN PELAKU BISNIS TERSEBUT TIDAK TAHU SYARIAH, BAHKAN KADANG KATA SYARIAH HANYA KEDOK UNTUK BISNISNYA AGAR UMAT ISLAM TERTARIK DENGAN BISNIS TERSEBUT…KARENA MENGGUNAKAN KATA SYARIAH…
SEPERTI YANG BANYAK TERJADI TENTANG BISNIS-BISNIS SYARIAH NAMUN TERNYATA BISNIS TERSEBUT TIDAK SESUAI ATURAN SYARIAT ISLAM KARENA ITU TUK KEDOK SAJA…SEHINGGA BISNIS TERSEBUT MERUGIKAN BANYAK ORANG….
SEPERTI ADA BISNIS PROPERTI SYARIAH…NAMANYA FIRMANA SYARIAH…FIRMANA SYARIAH..FIRMANA SYARIAH...PROMOSINYA SESUAI SYARIAH, TANPA AKAD BATIL, TANPA SITA, ANTI RIBA… TERNYATA ADA KONSUMEN YANG MEMBELI TANAH DARI BISNIS PROPERTI TERSEBUT DENGAN MENGANGSUR….
SAAT TIDAK MAMPU MELANJUTKAN ANGSURAN TANAH YANG DIBELI DENGAN MENGANGSUR TERSEBUT MAU DISITA TANAHNYA DAN UANG ANGSURANNYA DIANGGAP HILANG….APAKAH INI SESUAI SYARIAH….TIDAK..INI BERLAWANAN DENGAN KATA SYARIAH..INI ADALAH PRAKTEK RIBA YANG DILARANG KERAS OLEH SYARIAT ISLAM..INI ADALAH KEDHALIMAN TERHADAP HARTA ORANG LAIN..
BISA JADI KATA SYARIAH DIGUNAKAN TUK MENIPU UMAT ISLAM KARENA MAU MENDAPATKAN KEUNTUNGAN YANG BESAR….